Tegal — Tema peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2025, “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu,” dinilai mengandung pesan mendalam dari sisi linguistik dan kesetaraan gender. Hal ini disampaikan oleh Vita Ika Sari,M.Pd.ahli linguistik sekaligus dosen Universitas Pancasakti Tegal (28/10/25).
Menurut Vita, pemilihan diksi “Pemuda Pemudi” dalam tema tahun ini bukan sekadar gaya bahasa, melainkan mencerminkan pergeseran paradigma kebahasaan yang lebih inklusif dan setara secara gender.
“Secara linguistik, penggunaan kata pemuda-pemudi menegaskan bahwa gerakan kebangsaan bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga perempuan. Ini langkah penting dalam membangun kesadaran bahasa yang lebih adil,” jelasnya.
Bahasa sebagai Cermin Keadilan Sosial
Vita menjelaskan bahwa bahasa memiliki fungsi bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga cermin nilai sosial dan budaya. Dalam konteks ini, tema Sumpah Pemuda 2025 memperlihatkan perubahan orientasi bahasa Indonesia yang semakin responsif terhadap isu kesetaraan.
“Kata pemuda secara historis sering digunakan sebagai istilah umum yang seolah-olah netral gender, namun kenyataannya berkonotasi maskulin. Dengan menambahkan pemudi, negara secara simbolik mengakui peran perempuan dalam proses persatuan dan pembangunan nasional,” tambahnya.
Dari sudut analisis semantik, Vita menjelaskan bahwa frasa “Pemuda Pemudi Bergerak” menggambarkan tindakan aktif dan progresif dari generasi muda, sedangkan “Indonesia Bersatu” adalah hasil kolektif dari gerakan tersebut. Struktur kalimat ini membentuk relasi sebab-akibat yang kuat antara aksi sosial generasi muda dan persatuan bangsa.
Dalam konteks sosial tahun 2025, Vita menilai tema ini sangat relevan dengan tantangan generasi muda di era digital, yang menghadapi polarisasi identitas dan perbedaan pandangan sosial.
“Makna bergerak kini tidak hanya berarti turun ke jalan, tetapi juga bergerak di ruang digital, bergerak dalam ide, dan bergerak untuk kolaborasi lintas identitas. Semua itu mengarah pada satu tujuan: Indonesia yang bersatu,” ujarnya.
Sebagai akademisi, Vita Ika Sari menegaskan pentingnya pendidikan bahasa dan komunikasi yang sensitif gender di perguruan tinggi. Ia mengajak para pendidik, mahasiswa, dan masyarakat untuk terus menanamkan nilai kolaborasi, kesetaraan, dan nasionalisme berbasis kebinekaan.
“Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah yang disatukan oleh bahasa. Di era sekarang, kita perlu memastikan bahasa itu tetap menjadi alat persatuan—bukan pembeda,” tegasnya.
Vita Ika Sari adalah dosen dan peneliti linguistik di Universitas Pancasakti Tegal, dengan fokus kajian pada linguistik sosial, Pembelajaran bahasa Indonesia, dan studi bahasa berbasis gender. Ia aktif memberikan edukasi publik tentang peran bahasa dalam membangun kesadaran sosial, terutama di kalangan generasi muda.

















